dimensi Sikap dan Keterampilan

LKM 3 DIMENSI SIKAP DAN KETERAMPILAN

Untuk Memenuhi tugas
Pengembangan Pendididkan Sains SD
Yang Dibina Oleh Bapak Mijamudin Alwi, M.Pd


 

 


Oleh:

Erika Hapsari (15110206)

 

Kelas & Semester : VF





JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HAMZANWADI


Pendahuluan
Suplemen Unit 3 ini terbagi menjadi 2 yakni dimensi sikap dan Keterampilan.  Melalui berbagai aktivitas dalam Unit 3 Modul Pembelajaran IPA SD, Anda telah mempelajari cara menganalisis konsep IPA berdasarkan dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Anda telah belajar merumuskan indikator ketercapaian Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan dimensi-dimensi tersebut. Selanjutnya, Anda telah berlatih mengembangkan program pembelajaran IPA untuk periode satu semester atau satu tahun dalam bentuk silabus.
Akan tetapi, ada sesuatu yang perlu dilengkapi dalam konstruksi pemikiran Anda, yakni menyangkut dimensi hasil belajar IPA. Hasil belajar IPA tidak hanya berupa dimensi pengetahuan dan dimensi kognitif belaka. Memang dimensi inilah yang paling mudah diukur sebagai hasil dari pembelajaran Anda. Terdapat 2 dimensi lain sebagai hasil pembelajaran, yakni dimensi afektif dan dimensi psikomotorik. Dimensi afektif dalam pembelajaran IPA tidak kalah pentingnya dibandingkan dimensi kognitif, mengingat pendidikan IPA seharusnya dapat menumbuhkembangkan karakter peserta didik.
Dimensi psikomotorik juga tidak kalah penting, karena pada hakikatnya IPA tidak hanya melulu berupa kumpulan pengetahuan, akan tetapi hasil kerja keras manusia (human enterprises) yang tidak lepas dari keterampilan-keterampilan motorik, misalnya merangkai alat dan mengukur. Keterampilan-keterampilan tersebut juga berguna bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Melalui suplemen ini diharapkan Anda dapat merumuskan indikator-indikator pada dimensi afektif dan psikomotorik, sehingga rancangan pembelajaran Anda juga memperhatikan dimensi-dimensi tersebut.
Setelah mempelajari Suplemen Unit 3 ini diharapkan Anda dapat 1) menjelaskan 5 kategori afektif menurut Bloom dan Krathwohl; 2) mengidentifikasi nilai-nilai yang perlu diinternalisasi siswa sebagai hasil pembelajaran IPA; 3)menuliskan indikator dimensi afektif dari suatu kompetensi dasar; 4) menjelaskan 5 kategori psikomotorik; dan 5) menuliskan indikator dimensi psikomotorik dari suatu kompetensi dasar. Pencapaian kompetensi tersebut dilaksanakan melalui kegiatan tatap muka dan kegiatan mandiri. Kegiatan tatap muka difokuskan pada kegiatan diskusi dan latihan terbimbing, sedangkan kegiatan mandiri difokuskan pada latihan secara individu sesuai dengan tugas terstruktur yang diberikan. Selama kegiatan tatap muka dan mandiri, Anda dapat menggunakan suplemen bahan ajar cetak dan bahan rujukan yang dianjurkan dalam Unit 3. Pencapaian tujuan pembelajaran diukur melalui tes tulis dan pengumpulan tugas-tugas terstruktur.
Suplemen Unit 3 ini terdiri dalam dua sub-unit yaitu dimensi afektif dan (Suplemen sub-Unit 3.1) dan dimensi psikomotorik (Suplemen sub-Unit 3.2). Pada Suplemen sub-Unit 3.1, Anda akan diajak untuk mengenali dimensi afektif dan sikap ilmiah, serta cara merumuskan indikator pada dimensi afektif. Pada Suplemen sub-Unit 3.2, Anda akan diajak untuk mengenali dimensi psikomotorik dan berlatih merumuskan indikator pada dimensi tersebut. Materi pada suplemen Unit 3 ini saling berkaitan dan berkesinambungan dengan Unit 3. Pelajarilah terlebih dahulu Unit 3 dan kemudian Suplemen Unit 3 secara berkesimbungan, kemudian kerjakan setiap tugas yang diberikan setelah mempelajari setiap sub-unit!
SUPLEMEN SUB UNIT 3.1
Dimensi Afektif
­­
Setelah mempelajari Suplemen Sub Unit 3.1 ini, Kita diharapkan dapat:
1.      Menjelaskan 5 kategori afektif menurut Bloom dan Krathwohl.
2.      Mengidentifikasi nilai-nilai perlu diinternalisasi siswa sebagai hasil pembelajaran IPA .
3.      Menuliskan indikator dimensi afektif dari suatu Kompetensi Dasar.
Bacalah dengan seksama ilustrasi berikut:
Fulan, seorang siswa kelas V, sedang melakukan kegiatan praktikum bersama kelompoknya. Fulan merasa bertanggung-jawab atas kesuksesan praktikum kelompok-nya. Fulan mendengarkan dengan sungguh-sungguh pembimbingan gurunya. Selanjut-nya, Fulan dengan tekun melakukan pengambilan data dengan peralatan yang relevan. Setelah data terkumpul, Fulan bersama teman-temannya menganalisis data dengan menggunakan grafik untuk melihat kecenderungannya. Ternyata ada dua data yang menyimpang dari kecenderungan grafik. Fulan mengubah data tersebut agar sesuai dengan kecenderungan grafik. Fulan tidak menghiraukan saran teman-temannya agar jangan mengubah data, karena bagi dia, yang terpenting adalah kesuksesan kelompoknya dalam kegiatan praktikum. Kesuksean tersebut menurut Fulan ditunjukkan oleh sempurnanya grafik yang dihasilkan.

Berdasarkan ilustrasi di atas, buatlah daftar sikap positif dan sikap negatif yang ditunjukkan Fulan dalam pembelajaran IPA. Sebagai guru, apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu Fulan?
­­
A.     Dimensi Afektif dalam Pembelajaran IPA
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.
Sesuai hasil identifikasi Anda terhadap sikap Fulan dalam pembelajaran IPA, tampak bahwa pembelajaran IPA tidak dapat dilepaskan dari berbagai sikap siswa. Sikap positif siswa seharusnya terus dipupuk dan akhirnya muncul sebagai hasil belajar IPA. Sikap yang terus mendapatkan penguatan ini diharapkan terus berkembang menjadi nilai-nilai yang diinternalisasi siswa. Sikap negatif siswa yang muncul dalam pembelajaran IPA sedapat mungkin digeser menuju netral dan akhirnya menjadi sikap positip.
Sikap (attitude) adalah kecenderungan mental terhadap orang, objek, subjek, peristiwa, dan sebagainya. Dalam IPA, sikap ini penting karena tiga faktor utama:
1.      Sikap siswa membawa kondisi mental kesiapan terhadap matapelajaran IPA. Dengan sikap positif, anak akan melihat objek ilmu, topik, kegiatan, dan orang-orang secara positif. Seorang anak yang belum siap atau ragu-ragu, karena alasan apapun, akan kurang bersedia untuk berinteraksi dengan orang-orang dan hal-hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan.
2.      Sikap bukanlah perilaku bawaan atau keturunan. Sikap seorang anak dapat diubah melalui pengalaman. Guru dan orang tua memiliki pengaruh besar pada sikap anak terhadap IPA.
3.      Ketiga, sikap bersifat dinamis berdasarkan hasil pengalaman yang bertindak sebagai faktor pengarah ketika seorang anak memasuki pengalaman baru. Keputusan dan evaluasi anak dapat menyebabkan pergeseran prioritas dan kesukaan. Dalam pembelajaran IPA, sikap dan nilai-nilai siswa yang negatif terhadap IPA seharusnya dapat digeser, dari negatif ke netral dan bahkan ke sudut pandang positif. Seiring dengan waktu, dan dengan pengalaman positif lanjutan dan penyesuaian dalam sikap, siswa mungkin menjadi lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan, berpikir secara berbeda, dan mengumpulkan ide-ide yang lebih bermanfaat.
Dapatkah kita  mendaftar contoh sikap-sikap negatif siswa dalam pembelajaran IPA, yang dapat digeser ke arah netral dan pada akhirnya ke arah positif? Kita dapat menggunakan Gambar dibawah ini sebagai bantuan. Selain sikap positif terhadap IPA, pembelajaran IPA seharusnya dapat menumbuhkan sikap ilmiah. Sesuai perannya, sekolah juga bertanggung jawab untuk mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap ilmiah saat mempersiapkan generasi muda untuk hidup di luar lingkungan sekolah.
 






Berdasarkan gambar ini, identifikasikan sikap positif dan
sikap negatif yang mungkin  muncul dalam pembelajaran tersebut

            Sikap siswa yang diutarakan di atas termasuk dimensi afektif (dari kata latin affectus yang berarti perasaan). Dimensi afektif dalam pembelajaran IPA dapat dirunut dari dimensi afektif menurut Bloom dan Krathwohl (1973) serta nilai-nilai IPA yang ingin ditumbuhkan ke siswa. Dimensi afektif meliputi aspek-aspek yang berkaitan dengan hal-hal emosional seperti perasaan, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Terdapat 5 kategori afektif menurut Bloom dan Krathwohl (1973), sebagai berikut.
1.     Penerimaan terhadap fenomena
                Ini merupakan kategori awal dari kemampuan afektif. Kategori ini meliputi memberikan perhatian, kesediaan untuk mendengar, serta memilih perhatian. Siswa secara aktif mengikuti fenomena atau stimuli (misalnya aktivitas di kelas, buku teks, dan lain-lain). Perhatian utama pada kategori ini adalah perhatian siswa yang terfokus. Sebagai contoh, siswa mendengarkan penjelasan guru dengan penuh perhatian. Dapatkah Anda memberikan contoh lain? Beberapa kata kerja yang dapat digunakan: bertanya, memilih, mengidentifikasi, menentukan, menunjukkan, dan lain-lain.
2.      Tanggapan terhadap fenomena
Kategori ini meliputi berpartisipasi aktif, memberi perhatian, dan bereaksi terhadap fenomena tertentu. Siswa tidak hanya menganggapi fenomena atau stimuli, tetapi bereaksi. Hasil pembelajaran dapat berupa kepatuhan menanggapi, kemauan menanggapi, atau kepuasan dalam menanggapi. Sebagai contoh, siswa mengerjakan pekerjaan rumah, berpartisipasi dalam diskusi kelas, memberikan presentasi, bertanya terhadap ide-ide, konsep, atau model baru untuk lebih memahaminya, serta siswa memahami aturan keselamatan dalam eksperimen IPA dan menerapkannya. Kata kerja yang dapat digunakan: menjawab, membantu, memenuhi, mendiskusikan, membantu, menunjukkan, berlatih, mempresentasikan, dan lain-lain.
3.      Penilaian
Kategori ini meliputi penilaian seseorang terhadap obyek, fenomena, atau perilaku tertentu. Penilaian tersebut mulai dari penerimaan sampai dengan pernyataan komitmen. Penilaian merupakan dasar internalisasi seperangkat nilai-nilai tertentu, yang ditunjukkan siswa melalui perilakunya (dan seringkali dapat diamati). Sebagai contoh, siswa menunjukkan kepercayaan terhadap proses kerja kelompok dalam pemecahan masalah. Contoh lain, siswa mengusulkan suatu rencana perbaikan dan mengikutinya dengan penuh komitmen. Kata kerja yang dapat digunakan: membedakan, menjelaskan, memulai, membenarkan, mengusulkan, berbagi, dan lain-lain.
4.      Organisasi
Kategori ini mengatur nilai-nilai ke dalam prioritas-prioritas dengan mengontraskan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik antar nilai tersebut, dan menciptakan sistem nilai sendiri. Penekanannya pada aspek membandingkan, menghubungkan, dan menyintesis nilai-nilai. Sebagai contoh, siswa mengenali kebutuhan akan keseimbangan kebebasan dan tanggungjawab dalam kelompok kooperatif untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran IPA. Kata kerja yang dapat digunakan: mengatur, mengkombinasikan, membandingkan, menggeneralisasikan, menggabungkan, memodifikasi, mengorganisasi, menyusun, dan lain-lain.
5.      Internalisasi nilai-nilai (karakterisasi)
Pada tahap ini, siswa memiliki suatu sistem nilai yang mengontrol perilakunya. Perilaku tersebut sangat meluas, konsisten, dapat diprediksi, dan yang paling penting, menjadi karakteristik siswa. Sebagai contoh, siswa menampilkan kemandirian ketika bekerja secara independen. Contoh lain, siswa dapat bekerjasama dalam kelompok kooperatif (menampilkan kerja tim), menggunakan pendekatan obyektif dalam pemecahan masalah, dan merevisi penilaiannya berdasarkan bukti baru. Kata kerja yang dapat digunakan: menampilkan kepercayaan diri, menjaga, bekerjasama, dan lain-lain.
Cobalah Anda rangkum uraian di atas dalam bentuk tabel! Hasil rangkuman tersebut dapat anda cocokkan dengan Tabel 1 berikut.

Tabel 1
Kategori Afektif Menurut Bloom dan Krathwohl (1973)
Beserta Contoh Kata Kerja Operasionalnya

No.
Kategori Afektif
Kata Kerja Operasional
1.
Penerimaan terhadap fenomena
bertanya, memilih, mengidentifikasi, menentukan, menunjukkan.
2.
Tanggapan terhadap fenomena
menjawab, membantu, memenuhi, mendiskusikan, membantu, menunjukkan, berlatih, mempresentasikan.
3.
Penilaian
membedakan, menjelaskan, memulai, membenarkan, mengusulkan, berbagi
4.
Organisasi
mengatur, mengkombinasikan, membandingkan, menggeneralisasikan, menggabungkan, memodifikasi, mengorganisasi, menyusun.
5.
Internalisasi nilai-nilai (karakterisasi)
menampilkan kepercayaan diri, menjaga, bekerjasama.

Berdasarkan kategori afektif di atas, maka kategori afektif tertinggi adalah internalisasi nilai-nilai. Seharusnya, internalisasi nilai-nilai IPA dapat dilakukan dalam pembelajaran IPA. Internalisasi nilai-nilai IPA tersebut dapat dipandang sebagai hasil pembelajaran IPA dari dimensi afektif. Akan tetapi, apa sajakah nilai-nilai IPA itu?
IPA membentuk nilai-nilai tertentu, yang serikali disebut sikap ilmiah. Beberapa nilai tersebut berbeda dalam jenis atau intensitasnya dari nilai-nilai kegiatan manusia lainnya, seperti bisnis, hukum, dan seni. Nilai-nilai tersebut muncul dari sisi hakikat IPA, budaya masyarakat IPA, dan nilai sehari-hari yang selaras IPA, antara lain:
a.       Menghargai data yang dapat diverifikasi, hipotesis yang dapat diuji, prediksi, serta pembuktian yang teliti.
b.      Memiliki keyakinan dan perasaan yang positif terhadap IPA sebagai hasil kerja keras manusia.
c.       Menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang relevan dengan pengembangan IPA, yakni integritas, ketekunan, kejujuran, rasa ingin tahu, keterbukaan terhadap ide-ide baru, skeptisme, dan imajinasi.
IPA dicirikan oleh keseimbangan antara skeptisme dan keterbukaan. Karena kebanyakan saintis bersikap skeptis (ragu terhadap semua teori baru), maka penerimaan teori biasanya melalui proses verifikasi. Melalui pembelajaran IPA dikembangkan keseimbangan antara skeptisme dan keterbukaan, dengan dilandasi kejujuran dan rasa ingin tahu. Seperti halnya ilmuwan, anak-anak memasuki sekolah dengan berbagai pertanyaan tentang segala sesuatu. Pendidikan IPA yang mampu menumbuhkan rasa ingin tahu dan mengajarkan anak-anak bagaimana menyalurkan rasa ingin tahu tersebut secara produktif berguna bagi siswa maupun masyarakat. Di dalam IPA, kejujuran adalah segala-galanya. Temuan baru pasti akan diverifikasi oleh ilmuwan yang lain, dan jika temuan tersebut didasarkan atas ketidakjujuran, cepat atau lambat pasti akan ketahuan. Nah, jika demikian, nilai-nilai IPA yang mana yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA SD? Pembelajaran IPA SD paling tidak dapat mengembangkan nilai-nilai kejujuran, ketekunan, rasa ingin tahu, keterbukaan terhadap ide-ide baru, dan skeptisme (Rutherford dan Ahlgren, 1990). Nilai-nilai itu merupakan nilai IPA yang harus dimiliki oleh setiap warga negara (values of science for all). Nilai-nilai tersebut tidak lain adalah sikap ilmiah, dan seyogyanya menjadi tujuan afektif dalam pembelajaran IPA, sehingga pada akhirnya siswa dapat menginternalisasi nilai-nilai tersebut dan menjadi bagian dari karakter siswa.
 







                                                                                      
Gambar 2
Menurut Anda, sikap ilmiah apa yang ditunjukkan siswa pada gambar ini?
Pendidikan IPA merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam kaitannya dengan pengembangan afektif, maka karakter-karakter tersebut juga menjadi tujuan afektif yang relevan dengan pembelajaran IPA.
A.   Menuliskan Indikator Afektif
Pada bacaan sebelumnya, Anda diajak untuk menyadari bahwa tumbuhnya dimensi afektif siswa dalam pembelajaran IPA itu penting, dan terdapat nilai-nilai IPA yang dikenal sebagai sikap ilmiah yang seharusnya diinternalisasi siswa (dimensi afektif tertinggi) melalui pembelajaran IPA. Pentingnya dimensi afektif ini ditunjukkan dalam latar belakang Standar Isi (lihat Modul Unit 2), bahwa sikap ilmiah menjadi penekanan dalam pembelajaran IPA SD/MI. Akan tetapi, bagaimanakah kita merumuskan indikator afektif sebagai indikator sebuah kompetensi dasar?
Marilah kita cermati lagi dimensi afektif dalam bacaan di atas. Terdapat 5 jenis sikap ilmiah yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA, yakni kejujuran, ketekunan, rasa ingin tahu, skeptisme, dan keterbukaan. Untuk tiap jenis sikap ilmiah tersebut, terdapat 5 tingkatan kategori afektif, yakni penerimaan, tanggapan, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Marilah kita lihat kasus Fulan lagi. Dari contoh kasus Fulan, misalnya kita nyatakan:
·         Fulan masih belum menerima kejujuran sebagai bagian dari kerja ilmiah.
·         Ketekunan Fulan sudah sampai kategori organisasi (tekun untuk kepentingan kelompok).
·         Rasa ingin tahu Fulan sampai tahap penilaian (menerima dengan antusias).
·         Skeptisme Fulan masih pada tahap penerimaan (percaya sepenuhnya tren data orang lain).
·         Keterbukaan Fulan masih pada kategori penerimaan (belum terbuka terhadap saran teman).
Internalisasi



Organisasi





Penilaian



Tanggapan




Penerimaan






Kejujuran
Ketekunan
Rasa ingin tahu
Skeptisme
Keterbukaan

“Peta Afektif” Fulan. Tanda panah menunjukkan peningkatan
 kategori afektif yang diinginkan guru untuk Fulan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka “peta afektif” Fulan seperti pada Gambar di atas. Harapan guru, semua kategori aspek sikap ilmiah Fulan akan naik sebagai hasil pembelajaran IPA. Misalnya, “Fulan menginternalisasi ketekunan”. Harapan ini ditunjukkan oleh anak panah pada Gambar diatas . Cobalah Anda rumuskan 4 sisanya. Bravo!!! Anda telah berhasil merumuskan tujuan afektif pembelajaran IPA untuk Fulan. Apa saja? Mari kita cocokkan.
1.      Menerima kejujuran          
2.      Menginternalisasi ketekunan
3.      Menginternalisasi rasa ingin tahu
4.      Memiliki komitmen terhadap skeptisme
5.      Memiliki komitmen terhadap keterbukaan
Pertanyaan selanjutnya, apakah suatu kompetensi (KD) dasar memiliki dimensi afektif? Jawabannya, secara tersurat umumnya tidak, namun jika KD tersebut dianalisis akan terlihat bahwa secara tersirat KD tersebut memiliki dimensi afektif. Mari kita ambil contoh KD 6.1: Mengidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu. Sikap ilmiah apa yang harus dimiliki siswa saat siswa dapat mengidentifikasi sifat wujud benda padat, cair, dan gas? Tentu saja, siswa tersebut harus tekun mengamati, jujur mencatat dan menginterpretasikan hasil pengamatan, memiliki rasa ingin tahu terhadap sifat-sifat benda, tidak mudah percaya terhadap pernyataan tentang sifat benda sebelum melakukan verifikasi, dan terbuka terhadap hasil identifikasi yang tidak sesuai dengan “teori” awal yang ada di benaknya. Apakah semua aspek afektif tersebut harus ditulis sebagai indikator? Jawabnya berpulang pada Anda sebagai guru, apakah hendak melatihkan lima aspek afektif tersebut dalam pembelajaran KD 6.1. Jika Anda yakin siswa Anda telah menginternalisasi kejujuran, ketekunan, dan rasa ingin tahu, namun Anda ingin meningkatkan kategori skeptisme dan keterbukaan hingga kategori penilaian, maka indikator afektif untuk KD 6.1 adalah: memiliki komitmen terhadap skeptisme dan memiliki komitmen terhadap keterbukaan.

B.   Latihan
Kerjakan latihan di bawah ini untuk memperdalam pemahaman anda terhadap dimensi afektif!
1.      Rumuskan indikator-indikator dimensi afektif untuk KD 8.3: Membuat suatu karya/model untuk menunjukkan perubahan energi gerak akibat pengaruh udara, misalnya roket dari kertas/baling-baling/pesawat kertas/parasut. Untuk membantu perumusan Anda, buatlah perkiraan tentang kondisi siswa Anda!
2.      Menurut Anda, adakah KD yang tidak mengandung dimensi afektif? Jelaskan alasan Anda!








Jawaban Latiahan Dimensi Afektif
1.      Indikotor –Indokator dimensi Afektif daari KD 8.3 kelas IV/II
a.       Mendengar penjelasan guru dengan seksama.
b.      Menjawab pertanyaan guru tentang berbagai energi gerak akibat pengaruh udara.
Dewi , seorang siswa kelas IV, sedang melakukan kegiatan praktikum bersama kelompoknya. Dewi merasa bertanggung-jawab atas kesuksesan praktikum kelompok-nya. Dewi mendengarkan dengan sungguh-sungguh pembimbingan gurunya. Selanjut-nya, Dewi dengan tekun melakukan perancangan kincir angin dengan peralatan yang relevan. Setelah setengat jadi, Dewi dan Kelompoknya mendiskusi tentang model kincir angin yang dibuatnya. Ternyata  ada 2 model yang didapatkan Dewi dan kelomopoknya tetapi memiliki fungsi sama. Dewi  berinisiatif mengubah bentunya agar mirip dengan model awalnya. Dewi tidak menghiraukan saran teman-temannya agar jangan mengubah data, karena bagi dia, yang terpenting adalah kesuksesan kelompoknya dalam kegiatan praktikum. Kesuksean tersebut menurut Dewi ditunjukkan oleh sempurnanya model kincir angin yang  yang dihasilkan.

Marilah kita cermati lagi dimensi afektif dalam bacaan di atas. Terdapat 5 jenis sikap ilmiah yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA, yakni kejujuran, ketekunan, rasa ingin tahu, skeptisme, dan keterbukaan. Untuk tiap jenis sikap ilmiah tersebut, terdapat 5 tingkatan kategori afektif, yakni penerimaan, tanggapan, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Marilah kita lihat kasus Dewi lagi. Dari contoh kasus Dewi, misalnya kita nyatakan:
·         Dewi  masih belum menerima kejujuran sebagai bagian dari kerja praktikum.
·         Ketekunan Dewi sudah sampai kategori organisasi (tekun untuk kepentingan kelompok).
·         Rasa ingin tahu Dewi sampai tahap penilaian (menerima dengan antusias).
·         Skeptisme Dewi  masih pada tahap penerimaan (percaya sepenuhnya tren data orang lain).
·         Keterbukaan Fulan masih pada kategori penerimaan (belum terbuka terhadap saran teman).

Internalisasi



Organisasi





Penilaian



Tanggapan




Penerimaan






Kejujuran
Ketekunan
Rasa ingin tahu
Skeptisme
Keterbukaan

“Peta Afektif” Dewi. Tanda panah menunjukkan peningkatan
 kategori afektif yang diinginkan guru untuk Fulan.
2.      Tidak ada KD yang tidak memiliki dimensi afekti, karena secara tersurat umumnya tidak, namun jika KD tersebut dianalisis akan terlihat bahwa secara tersirat KD tersebut memiliki dimensi afektif. Kita bisa mengambil contoh KD 8.3: Membuat suatu karya/model untuk menunjukkan perubahan energi gerak akibat pengaruh udara, misalnya roket dari kertas/baling-baling/pesawat kertas/parasut. Sikap ilmiah apa yang harus dimiliki siswa saat siswa dapat Membuat suatu karya/model untuk menunjukkan perubahan energi gerak akibat pengaruh udara, misalnya roket dari kertas/baling-baling/pesawat kertas/parasut. ? Tentu saja, siswa tersebut harus tekun mengamati, jujur membut model dan menginterpretasikan hasil karya, memiliki rasa ingin tahu terhadap jenis-jenis perubahan energi gerak , tidak mudah percaya terhadap pernyataan tentang sifat benda sebelum melakukan verifikasi, dan terbuka terhadap hasil pembuatan  yang tidak sesuai dengan “teori” awal yang ada di benaknya.









SUPLEMEN UNIT 3.2
Dimensi Psikomotorik

Setelah mempelajari Suplemen Sub Unit 3.2 ini, Anda diharapkan dapat:
1.      Menjelaskan 5 kategori psikomotorik.
2.      Menuliskan indikator dimensi psikomotorik dari suatu Kompetensi Dasar.
Selain dimensi kognitif dan afektif, terdapat satu dimensi hasil belajar IPA siswa yang juga perlu diperhatikan. Perhatikan ilustrasi berikut:

Eta mengukur suhu air di dalam gelas beker dengan termometer. Eta memegang termometer, kemudian memasukkan ujungnya ke dalam gelas, termometer dalam posisi miring. Termometer yang dipegang Eta membentur-bentur dinding gelas. Eta menunggu beberapa saat. Kemudian Eta melihat penunjukan suhu dengan cara mengambil termometer dari gelas beker, mendekatkan ke matanya, dan melihat penunjukan skala suhu oleh permukaan cairan termometer.

Berdasarkan ilustrasi di atas, apakah Eta telah memiliki keterampilan melakukan pengukuran suhu dengan termometer? Buatlah daftar perilaku Eta yang memperkuat simpulan Anda, serta bagaimana perilaku Eta yang seharusnya.
A.   Pengertian Ranah Psikomotorik
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan
(skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya.
Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang
menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. “Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku)”. Hasi belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektif dengan materi kedisiplinan menurut agama Islam sebagaimana telah dikemukakan pada pembiraan terdahulu, maka wujud nyata dari hasil psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif afektif itu adalah:
1.      Peserta didik bertanya kepada guru pendidikan agama Islam tentang contoh-contoh kedisiplinan yang telah ditunjukkan oleh Rosulullah SAW, para sahabat, para ulama dan lain-lain.
2.      Peseta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan.
3.       Peserta didik dapat memberikan penejelasan kepada teman-teman sekelasnya di sekolah, atau kepada adik-adiknya di rumah atau kepada anggota masyarakat lainnya, tentang kedisiplinan diterapkan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
4.      Peserta didik menganjurkan kepada teman-teman sekolah atau adik-adiknya, agar berlaku disiplin baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
5.       Peserta didik dapat memberikan contoh-contoh kedisiplinan di sekolah, seperti datang ke sekolah sebelum pelajaran di mulai, tertib dalam mengenakan seragam sekolah, tertib dan tenag dalam mengikuti pelajaran, di siplin dalam mengikuti tata tertib yang telah ditentukan oleh sekolah, dan lain-lain.
6.      Peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di rumah, seperti disiplin dalam belajar, disiplin dalam mennjalannkan ibadah shalat, ibadah puasa, di siplin dalam menjaga kebersihan rumah, pekarangan, saluran air, dan lain-lain.
7.      Peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di tengahtengah kehidupan masyarakat, seperti menaati rambu-rambu lalu lintas, tidak kebut-kebutan, dengan suka rela mau antri waktu membeli karcis, dan lain-lain.
8.      Peserta didik mengamalkan dengan konsekuen kedisiplinan dalam belajar, kedisiplinan dalam beribadah, kedisiplinan dalam menaati peraturan lalu lintas, dan sebagainya.
B.   Dimensi Psikomotorik dalam Pembelajaran IPA
Dimensi psikomotorik umumnya berupa keterampilan yang memerlukan koordinasi otak dengan beberapa otot. Sesuai hasil identifikasi Anda terhadap keterampilan Badu dalam mengukur suhu dengan termometer, tampak bahwa terdapat dimensi hasil belajar IPA siswa yang berupa dimensi psikomotorik. Contoh lain dimensi psikomotorik pembelajaran IPA SD antara lain mengukur panjang kecambah, mengukur gaya yang diperlukan untuk menggerakkan sebuah benda, mengeset sebuah percobaan untuk membandingkan gaya kuasa dengan gaya beban, dan lain-lain. Dapatkah Anda memberikan contoh lain?
Bagaimanakah tingkatan (kategori) dimensi psikomotorik? Hingga akhir hayatnya, Bloom tidak merumuskan kategori dalam ranah psikomotorik. Ahli psikologi berikutnyalah yang mengembangkan kategori psikomotorik, yakni Dave (1967), Simpson (1972), dan Harrow (1972). Berikut ini adalah kategori psikomotorik menurut Dave (1967):
1.      Imitasi
Imitasi berarti meniru tindakan seseorang. Contoh imitasi misalnya seorang siswa mengamati demonstrasi guru dan kemudian siswa tersebut meniru proses atau aktivitas guru. Dapatkah Anda memberikan contoh dalam pembelajaran IPA? Gambar 5 menunjukkan ilustrasi contoh tersebut. Kata kerja yang digunakan misalnya: mengamati, mencoba, mengikuti, mengulang, dan lain-lain.
2.       Manipulasi
Kategori manipulasi berarti melakukan keterampilan atau menghasilkan produk dengan cara dengan mengikuti petunjuk umum, bukan berdasarkan observasi. Pada kategori ini, siswa dipandu melalui instruksi untuk melakukan keterampilan tertentu. Dalam pembelajaran IPA, siswa yang dapat melakukan aktivitas sesuai dengan petunjuk LKS berarti sudah masuk dalam kategori ini. Cobalah Anda berikan contoh lain. Kata kerja yang digunakan misalnya: mengikuti (petunjuk), melengkapi, menampilkan, memainkan, menghasilkan (sesuai petunjuk), dan lain-lain.
 









Jika siswa dapat menirukan aktivitas yang didemonstrasikan guru, kategori
kemampuan psikomotorik apa yang telah dikuasai siswa tersebut?

3.      Presisi
Kategori presisi berarti secara independen melakukan keterampilan atau menghasilkan produk dengan akurasi, proporsi, dan ketepatan. Dalam bahasa sehari-hari, kategori ini dinyatakan sebagai “tingkat mahir”. Dalam pembelajaran IPA, kategori presisi ini misalnya siswa terampil melakukan pengukuran suhu dengan termometer. Kata kerja yang digunakan misalnya: mencapai tingkat otomatis, ahli, mahir, terampil, mengkalibrasi, mengontrol, mempraktikkan.
4.      Artikulasi
Kategori artikulasi artinya memodifikasi keterampilan atau produk agar sesuai dengan situasi baru, atau menggabungkan lebih dari satu keterampilan dalam urutan harmonis dan konsisten. Dalam pembelajaran IPA, misalnya siswa sudah dapat menggabungkan langkah-langkah tertentu dalam memecahkan masalah dengan metode ilmiah. Dapatkah Anda memberikan contoh lain? Kata kerja yang digunakan untuk merumuskan indikator pada kategori ini misalnya: membangun, menyelesaikan, menggabungkan, mengkoordinasikan, mengintegrasikan, beradaptasi, mengembangkan, merumuskan, memodifikasi, meningkatkan, mengajarkan, dan lain-lain.

5.      Naturalisasi
Kategori naturalisasi artinya menyelesaikan satu atau lebih keterampilan dengan mudah dan membuat keterampilan otomatis dengan tenaga fisik atau mental yang ada. Pada kategori ini, sifat aktivitas telah otomatis, sadar penguasaan aktivitas, dan penguasaan keterampilan terkait sudah pada tingkat strategis (misalnya dapat menentukan langkah yang lebih efisien). Kategori ini relatif sulit dicapai dalam pembelajaran tingkat SD. Kata kerja yang dapat digunakan untuk kategori manipulasi misalnya mendesain, menentukan, mengatur, menemukan, mengelola proyek, dan lain-lain.
 











Kategori psikomotorik menurut Dave (1967).

B. Menuliskan Indikator Psikomotorik
Berdasarkan kategori psikomotorik di atas, tampaknya untuk pembelajaran IPA SD, kategori psikomotorik dapat dilatihkan hingga sampai tahap presisi. Akan tetapi, presisi dalam hal apa? Untuk itu, Anda harus menganalisis Kompetensi Dasar (KD) dari sisi dimensi psikomotorik. Mari kita lihat lagi KD 6.1: Mengidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu. Dalam proses mengidentifikasi sifat-sifat wujud benda, siswa harus melakukan pengukuran volume benda (paling tidak volume benda cair). Sehingga indikator psikomotorik untuk KD ini adalah: siswa terampil melakukan pengukuran volume benda cair. Akan tetapi, apakah Anda sebagai guru langsung menuntut siswa Anda terampil melakukan pengukuran volume benda cair? Jika pengukuran volume benda cair ini merupakan pengalaman pertama bagi siswa Anda, maka tingkat/kategori psikomotoriknya bisa Anda turunkan menjadi kategori imitasi, yakni: siswa mampu mengikuti langkah-langkah pengukuran volume benda cair seperti yang dicontohkan. Nah….! Anda telah dapat merumuskan satu indikator pada dimensi psikomotorik untuk KD tersebut.
Mari kita berlatih lagi merumuskan indikator psikomotorik. Kita ambil KD kelas II semester 2, yakni KD 3.1: mengidentifikasi sumber-sumber energi (panas, listrik, cahaya, dan bunyi) yang ada di lingkungan sekitar. Kegiatan mengidentifikasi ini dapat dilakukan melalui pengamatan, menuliskan hasil pengamatan, melihat persamaan dan perbedaan, kemudian mengelompokkan berdasarkan persamaan dan perbedaan tersebut. Untuk siswa kelas II, kategori psikomotorik yang dilatihkan meliputi imitasi dan manipulasi. Jadi, alternatif rumusan indikator psikomotoriknya:
1.      Mengikuti petujuk dalam melakukan pengamatan terhadap sumber-sumber energi.
2.      Menuliskan hasil pengamatan terhadap sumber-sumber energi
3.      Menghasilkan klasifikasi sumber-sumber energi sesuai petunjuk.

Indikator yang dirumuskan tersebut berupa alternatif rumusan indikator psikomotorik untuk KD 3.1, jadi tidak harus itu. Anda pasti dapat menghasilkan alternatif lain rumusan indikator psikomotorik untuk KD 3.1. Cobalah Anda tuliskan alternatif lain rumusan indikator psikomorik untuk KD tersebut!
Jadi, dalam merumuskan indikator psikomotorik, kita perlu memperhatikan apa yang harus dilakukan siswa untuk mencapai KD tersebut, dan keterampilan apa yang ingin kita tumbuhkan pada siswa Anda. Perlu contoh lagi? Mari kita analisis satu KD lagi, misalnya untuk siswa kelas III semester 1, yakni KD 2.1. membedakan ciri-ciri lingkungan sehat dan tidak sehat berdasarkan pengamatan. Apa yang harus dilakukan siswa? Siswa akan mengamati (gambar atau kondisi riil), menemukan ciri, membandingkan, mencari persamaan dan perbedaan, serta memberi contoh lingkungan sehat dan tidak yang sehat. Untuk melakukan itu semua, siswa masih perlu petunjuk (imitasi dan manipulasi). Anda perhatikan, hampir semua hal tersebut berada pada dimensi kognitif, kecuali mengamati. Oleh karena itu, alternatif indikator psikomotorik untuk KD 2.1 adalah: siswa mampu mengikuti petunjuk pengamatan terhadap lingkungan sehat dan tidak sehat.
C.   Latihan

Kerjakan latihan di bawah ini untuk memperdalam pemahaman anda terhadap dimensi psikomotorik.
1.      Rumuskan indikator-indikator dimensi psikomotorik untuk KD 1.1: mengidentifikasi cirri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup. Untuk membantu perumusan Anda, buatlah perkiraan tentang kondisi siswa Anda.
2.      Menurut Anda, adakah KD yang tidak mengandung dimensi psikomotorik? Jelaskan alasan Anda.

Jawaban Latihan Psikomotorik
1.      Indikotor –Indokator dimensi Psikomotorik daari KD 1.1 kelas III/I
a.       Mengamati ciri-ciri makluk hidup.
b.      Mencatat hasil praktikum
Agus mengamati perilaku ikan yang dibawa (bagaimana cara ikan itu berenang, bagaimana frekuensi ikan itu membuka mulutnya, dll) dan menulisnya di lembar pengamatan. Kemudian Agus  menaburkan garam sedikit demi sedikit ke dalam air. Agus dan kelompoknya mengamati perilaku ikan setelah air diberi garam. Setelah itu Agus dan teman kelompoknya berdiskusi terhadap perilaku ikan yang dimasukan.

Marilah kita cermati lagi dimensi Psikomotorik dalam bacaan di atas. Terdapat 5 jenis sikap ilmiah yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA, yakni meniru, mengubah, keterampila, mengkolaborasi dan sudah mahir. Untuk tiap jenis sikap ilmiah tersebut, terdapat 5 tingkatan kategori Psikomotorik, yakni imitasi, manipulasi, prisis, artikulasi, dan naturalisasi. Marilah kita lihat kasus Agus lagi. Dari  kasus Agus , misalnya kita nyatakan:
·         Agus masih meniru sebagai bagian dari kerja ilmiah.
·          Agus mengubah karya sudah sampai kategori manipulasi .
·         Keterampilan  Agus  masih tahap manipulasi.
·         Mengkolaborasikan karya Agus masih pada tahap imitasi .
·          Dalam kemahiran Agus  masih pada kategori imitasi .
Naturalisasi





Atikulasi





Presisi



Manipulasi



Imitasi





Meniru
Mengubah
Terampil
Menggambukan
Sudah mahir

2.      Tidak ada KD yang tidak memiliki dimensi psikomotorik, karena secara tersurat umumnya tidak, namun jika KD tersebut dianalisis akan terlihat bahwa secara tersirat KD tersebut memiliki dimensi afektif. Kita bisa mengambil contoh KD 8.3: Membuat suatu karya/model untuk menunjukkan perubahan energi gerak akibat pengaruh udara, misalnya roket dari kertas/baling-baling/pesawat kertas/parasut. Sikap ilmiah apa yang harus dimiliki siswa saat siswa dapat Membuat suatu karya/model untuk menunjukkan perubahan energi gerak akibat pengaruh udara, misalnya roket dari kertas/baling-baling/pesawat kertas/parasut. ? Tentu saja, siswa tersebut harus tekun mengamati, jujur membut model dan menginterpretasikan hasil karya, memiliki rasa ingin tahu terhadap jenis-jenis perubahan energi gerak , tidak mudah percaya terhadap pernyataan tentang sifat benda sebelum melakukan verifikasi, dan terbuka terhadap hasil pembuatan  yang tidak sesuai dengan “teori” awal yang ada di benaknya.








Komentar